Jakarta - Akhir April 2019, Netflix memperkenalkan serial dokumentar makanan terbaru berjudul 'Street Food'. Dari Indonesia, tepatnya Yogyakarta, ada kisah Mbah Satinem dan Mbah Lindu yang menarik.
'Street Food' bukanlah serial dokumenter makanan pertama dari Netflix. Sebelumnya ada banyak kisah makanan yang dikemas apik oleh Netflix menyerupai Jiro Dreams of Sushi, The Birth of Sake, dan Barbecue.
Pada 'Street Food', Netflix mengangkat kisah-kisah jajanan kaki lima dari banyak sekali tempat. Musim pertama penayangannya bercerita soal jajanan kaki lima di negara-negara Asia. Ada 9 kota yang kisah jajanan kaki limanya diangkat yaitu Bangkok, Osaka, Delhi, Yogyakarta, Chiayi, Seoul, Ho Chi Minh City, dan Singapura, dan Cebu.
'Street Food' dari Netflix menceritakan street food di banyak sekali negara (Foto: Istimewa) |
Baca Juga: 5 Film Dokumenter Makanan di Netflix Ini Wajib Ditonton 5 Film Dokumenter Makanan di Netflix Ini Wajib Ditonton
Dari Yogyakarta, ada 4 pendekar makanan yang kisahnya diangkat. Penulis buku Top Tables: A Food Traveller's Companion, Kevindra P. Soemantri menyisipkan narasi dari tiap kisah pendekar makanan itu. Ia menilai Yogyakarta patut diangkat sebab kota ini punya tugas unik di Indonesia. "Seperti lorong untuk melihat 1.000 tahun ke belakang," katanya.
Yang paling menarik perhatian tentunya Mbah Satinem. Legenda makanan ini yaitu seorang penjaja jajan pasar yang sudah berjualan lebih dari 50 tahun. Namanya mulai dikenal masyarakat usai Presiden Soeharto menyukai ragam jajan pasar buatan perempuan dengan sapaan erat 'Mbah' ini.
Tiap pagi, Mbah Satinem berjualan di depan ruko di Jl. Bumijo, Jetis. Sebelum ia tiba, sering kali pelanggan setianya sudah mengantre. Saking banyaknya antrean, Mbah Satinem yang dibantu putrinya berjualan menciptakan kartu nomor guna mencegah pelanggan berebut.
Jajan pasar Mbah Satinem yang masih dibentuk dengan teknik tradisional (Foto: Istimewa) |
Racikan jajan pasarnya istimewa sebab masih dibentuk dengan resep klasik. Resep itu didapat dari 'si mbok' alias ibu Mbah Satinem yang dulu juga berjualan jajan pasar. "Tapi nama saya lebih terkenal," kata Mbah Satinem berseloroh. Menu andalan Mbah Satinem yaitu lupis yang gurih dan legit. Ada juga saus gula yang berdasarkan Kevindra terkaramelisasi dengan sangat baik.
Untuk menciptakan ragam jajan pasar, setiap hari Mbah Satinem berdiri tengah malam. Ia dibantu suaminya, Mbah Jumirah menyiapkan satu per satu jenis jajan pasar. Mereka masih menggunakan cara-cara tradisional menyerupai menggunakan api kayu bakar untuk masak kue.
Jajan pasar Mbah Satinem ternyata berhasil menghidupi ia dan keluarga. "Saya menghidupi 10 orang, ada 3 anak dan 7 cucu," katanya. Ia mengaku tak mau berhenti jualan jajan pasar selama dirinya masih sanggup. Meski begitu, ia sudah menyiapkan anaknya untuk menggantikan posisinya nanti.
Selain Mbah Satinem, 'Street Food' juga membahas sedikit soal jajan pasar versi modern yang dibentuk Arya Snack & Food. Toko camilan anggun di Jl. Brigjen Katamso No.42, Prawirodirjan ini menciptakan jajan pasar dengan efek Belanda sampai Portugis. Ciri khasnya, warna camilan anggun lebih jelas dan bentuknya lebih artistik.
Meski sudah berusia 100 tahun, Mbah Lindu masih aktif berjualan gudeg (Foto: Istimewa) |
'Street Food' tak ketinggalan membahas legenda gudeg yaitu Mbah Lindu. Wanita 100 tahun ini masih semangat menciptakan dan menjajakan sendiri gudeg buatannya. Gudeg Mbah Lindu punya ciri khas lebih basah dengan cita rasa gurih enak, tidak terlampau manis.
Baca Juga: Selama 74 Tahun, Mbah Lindu Meracik Gudeg Khas Yogyakarta
Ditanya Kevindra, Mbah Lindu mengatakan, "Semua (komponen gudeg) dimasak sediri, orang renta kan cerdik masak. Usiaku sudah 100 tahun. Gigiku sudah habis." Ia juga menyampaikan tak akan ada perubahan resep kalau nanti jualan gudegnya dilanjutkan.
Cara pembuatan Mie Lethek Garuda masih menggunakan sapi (Foto: Berbagai sumber) |
Cerita 'Street Food' di Yogyakarta juga membahas soal mi singkong alias mi lethek yang terkenal di sana. Salah satu produsen mi lethek ternama yang masih mempertahankan teknik memasak tradisional dalam pembuatannya yaitu Mi Lethek Cap Garuda.
Yasir Ferry Ismatrada selaku generasi ketiga pemilik perjuangan ini menyampaikan produksi mi lethek berawal dari tepung singkong. Pengolahannya kemudian dibantu sapi jantan berjulukan Hercules. "Selanjutnya tepung singkong dikukus, dimasukkan ke dalam mesin pres untuk menekan dan mencetak mi," pungkas Yasir.
Legenda Jajan Pasar Yogyakarta, Mbah Satinem Jadi Dongeng Street Food Netflix
4/
5
Oleh
september